
Nama: Ardiansah
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan UMRAH
HARUSKAH SISWA LULUS 100% DALAM UJIAN NASIONAL
Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan sejak
tahun 2005 masih menuai pro dan kontra. Setiap menjelang ujian digelar, suara
miring menentang penyelenggaraan UN masih bermunculan di media massa.
Sebaliknya banyak juga kalangan yang mendukung pelaksanaan UN. Pemerintah tetap
menyelenggarakan, bahkan batas terendah kelulusan nilai rata-rata UN selalu
dinaikkan setiap tahun. Guru resah tingkat dewa, siswa galau tingkat kahyangan.
Para kepala sekolah bingung, tapi masih sempat nyanyi pada saat Ujian sudah
makin dekat.
Haruskah siswa lulus 100%? Pertanyaan ini
menggelitik sebagian besar guru yang didaulat sebagai faktor penentu
keberhasilan siswa dalam UN. Setiap guru tentunya ingin melihat
muridnya-muridnya lulus 100%, tapi jika harus “diluluskan” 100% tidak semua guru
setuju. Idealisme sering bertolak belakang dengan kepentingan orang banyak.
Bukankah sejak kecil kita sudah diajarkan mendahulukan kepentingan orang banyak
di atas kepentingan pribadi? Bukankah kita harus mengutamakan pendapat
mayoritas di atas pendapat pribadi.
Kebanyakan masih berkepentingan agar semua
siswa diluluskan dalam UN. Semua siswa ingin lulus, orang tua siswa
menginginkan anak-anak mereka dapat lanjut ke jenjang pendidikan selanjutnya,
sekolah secara kelembagaan ingin mempertahankan kredibilitas sebagai lembaga
pendidikan yang mampu meluluskan seluruh siswa dan mendapatkan kepercayaan
masyarakat. Kepala Dinas Pendidikan Kab/Kota memberikan penghargaan “peniti
emas” kepada para kepala sekolah yang sukses meluluskan siswanya 100%. Bapak
gubernur pun bangga melaporkan kepada menteri kemajuan pendidikan di
wilayahnya. Kelulusan siswa 100% juga mendukung program pemerintah Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Berbagai kepentingan inilah yang harus
diakomodir oleh pihak sekolah, terutama oleh kepala sekolah sebagai pemegang
otoritas manajemen kepemimpinan. Jika tidak, kepala sekolah terancam dicopot
karena dianggap tidak cakap.
Ironisnya, di tengah-tengah gencarnya masalah
UN yang rawan kecurangan ini diperdebatkan, pemerintah menggulirkan program pendidikan
karakter bagi siswa yang tentunya harus dimulai dari guru. Banyak guru
mengeluhkan, bagaimana menanamkan karakter jujur kepada siswa jika dalam UN
masih harus dibantu agar lulus? Agar tidak galau, guru harus menerima dalil
“walaupun salah, tapi jika disepakati bersama, maka itu adalah kebenaran”. Kata
orang bijak, “di atas aturan, ada kebijakan”.
Dewasa ini orang jujur sudah termasuk manusia
langka. Sedemikian langkanya, sehingga saat pengumuman lulus dengan bangga
sekolah mengumumkan kelulusan 100% siswa, meski dalam hati kecil mengatakan
seandainya mau jujur ada sekitar 15% siswa tidak lulus. Mungkin tidak pernah
kita dengar ada orang tua yang memberikan hadiah HP pada anaknya yang tidak
lulus UN karena mengerjakan soal dengan jujur.
Kembali pada pertanyaan “haruskah siswa lulus
100%?”. Idealnya tidak harus, namun dengan mempertimbangkan berbagai
kepentingan, maka jawabanya adalah “harus”. Maka guru yang terpaksa membantu
siswanya agar lulus UN adalah “guru yang mendahulukan kepentingan orang banyak
di atas kepentingan pribadi”. Tapi kita masih bisa menyisakan satu harapan
bahwa ketika ditanya mereka akan jujur mengatakan bahwa mereka “tidak jujur
dalam UN”. Salam prihatin tuk Indonesiaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar